KEMAJEMUKAN BERMASYARAKAT DARI SEGI KONSENSUS: "PERDEBATAN ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISONAL DI INDONESIA”
Indonesia adalah
negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia, setidaknya hingga
saat ini, karena memang didukung jumlah penduduknya yang banyak. Meski begitu,
sebenarnya keragaman dan perbedaan penduduknya sangat nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Bagian inilah yang membuat Indonesia menarik jika dibadingkan
negara-negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negaranya namun jumlah umat
Islamnya sendiri tidaklah lebih banyak dari Indonesia, sedangkan itu meski
Indonesia bukalah negara teokrasi atau negara yang menjadikan Islam sebagai
dasar negara, jumlah penduduk muslimnya adalah yang terbanyak hingga saat ini.
Hal ini dikarenakan
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah suku dan kebudayaan beragam
serta terdapatnya enam agama besar yang diakui oleh pemerintah. Sehingga, meski
Islam adalah agama mayoritas secara jumlah penduduk, Islam dan
Al-Quran yang merupakan kitab suci umat Islam tidaklah dijadikan dasar
konstitusi negara. Keadaan yang bisa dinilai sangat toleran ini bukanya tanpa
masalah dan perdebatan, pernah dalam masa yang cukup lama menjelang Indonesia
merdeka hingga masa demokrasi parlementer terjadi perdebatan mengenai dasar
negara yang akan digunakan, yaitu antara orang-orang dari golongan Islam dengan
golongan Nasionalis. Inilah yang digambarkan oleh Ahmad Suhelmi dalam bukunya
Soekarno vs Natsir yaitu perseteruan nyata antara orang-orang sekuler dengan
orang-orang dari golongan Islam saat sidang BPUPKI yang sering menemui jalan
buntu ketika akan menyusun konstitusi dan dasar negara.
Jumlah yang besar,
penganut Islam yang taat dan nuansa kebudayaan lokal yang bercampur dengan
budaya Islam, terlihat begitu serasi. Namun begitu, dalam praktik kehidupan
sehari-hari rupanaya seperti dua buah mata pedang yang saling berlawanan.
Keragaman yang dibungkus dengan toleransi selama ini rupanya dinilai oleh
sebagian ilmuan sosial sebenarnya rapuh dan rentan terhadap konflik. Salah
satunya adalah permasalahan saat Islam di Jawa (pada umumnya) mulai mengalami
modernisasi dan keterbukaaan terhadap nilai-nilai Barat yang sebelumnya sangat
dinilai tabu, bahkan sekedar mengikuti gaya hidup orang Barat adalah sebuah
kekafiran.
Masalah ini banyak dipercayai berawal
saat lahirnya gerakan Islam yang disebut Muhammadiyah, dibawa oleh KH. Ahmad
Dahlan yang lalu menyebarkan Islam atau pembaruan Islam dengan upaya-upayanya
untuk memberantas praktik peribadatan Islam yang sudah jauh melenceng dari
ajaran yang sebenarnya. Nilai-nilai dan paham baru yang dibawa KH. Ahmad Dahlan
dalam gerakan pembaharuannya yang berupaya memurnikan ajaran Islam di Jawa
(saat itu) dengan mengambil bebapa metode pengajaran dan paham Barat dinilai
sebagai gerakan “terlarang” oleh masyarakat Islam tradisonalis saat itu—yaitu
masyarakat Islam yang masih banyak mencampuradukan kebudayaan leluhur dengan
ajaran Islam yang dianutnya, sehingga menurut masyarakat Islam modern itu
merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya--.
Kemelut antara dua
kelompok ini rupanya tidak hanya mengenai permasalahan praktik ibadah dalam
Islam, namun juga sudah menjalar ke sisi kehidupan yang lainnya seperti bidang
politik. Bentuk implementasi konflik atau pertentangan pemikiran ini secara
nyata dapat dilihat pada perdebatan-perdebatan Muhammadiyah dengan
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia hingga
saat ini. Dengan berusaha memahami lahirnya fenomena modernism Islam yang
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh di Mesir saat itu, hingga
pengaruh perdebatan dua kelompok agama (tradisionalis dengan modernis) saat ini
bagi kehidupan berpolitik di Indonesia.
Melihat
perkembangannya yang pesat dari keberadaan Muhammadiyah dan pengaruhnya yang
hanya dalam waktu dua tahun sudah sampai ke Pulau Sumatra, ternyata juga
melahirkan pandangan-pandangan sinis terutama dari kalangan muslim abangan di
Jawa pada saat itu. Golongan ini menilai apa yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan
dan gerakan pembaharuannya tersebut adalah lanjutan tangan pemerintah kolonial
dan bertentangan dengan nilai- nilai leluhur yang selama ini dipertahankan.
Maka Deliar Noer menilai kelahiran Nahdlatul Ulama beberapa waktu kemudian
setelah kelahiran Muhammadiyah dianggap salah satu faktornya adalah sebagai
“lawan” dari gerakan pembaharuan dan berusaha mempertahankan status quo
(nilai-nilai budaya tradisional dalam Islam).
Dari pertentangan
sederhana ini bisa kita tarik definisi dari kedua kelompok tersebut, yaitu
pertama Islam modern, sebuah gerakan pembaharuan pada pemurnian ajaran Islam
yang kembali ke Al-Quran dan Hadits dengan mulai membuka pintu ijtihad serta
nilai-nilai yang berasal dari Barat. Sedangkan Islam tradisionalis adalah
golongan Islam yang berusaha mempertahankan kebudayaan Jawa dalam ajaran agama
Islam.
Meski begitu,
modernism Islam tidaklah hanya kita katakan berawal dari Muhammadiyah saja,
sebab (Partai Serikat Islam) PSI atau yang sebelumya bernama Serikat Islam (SI)
juga menunjukan hal demikian layaknya faham modernism dalam aktifitasnya.
Karena hanya terfokus masalah perdagangan dan tujuannya melindungi pedagang
batik di Jawa, akhirnya SI dinilai kurang mewakili sebagai gerakan pembaharu.
Satu hal lagi yang harus dipahami kenapa perdebatan pemikiran Islam modern dan
Islam tradisonal diwakili oleh dua organisasi Muhammadiyah dan NU, itu
dikarenakan dua organisasi inilah yang sampai saat ini setidaknya masih
menunjukan gejala perdebatan pemikiran, walaupun dalam tulisan makalah ini
selanjutnya hanya dibahas samapi masa demokrasi terpimpin.
Perbedaan pendapat,
perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya
mendapatkan dan/atau memepertahankan nilai-nilai disebut konflik. Menurut
pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada
benarnya sebab konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat,
termasuk proses politik[4]. Melihat definisi dan penjelasan tersebut
maka dapat kita maklumi juga jika ternyata dalam satu agama dan suku,
masyarakat Jawa juga bisa terpecah pemikirannya menjadi orang-orang yang
disebut tradisional dengan orang-orang yang mengupayakan pembaharuan (modern).
Awalnya konflik
pemikiran yang terjadi adalah seputar pemurnian cara peribadatan (seperti Ahmad
Dahlan yang merubah arah kiblat menjadi berbeda dengan sebelumnya) dan
masalah-masalah sosial lainnya, namun seiring dengan pergerakan menuju dan
perjuangan kemerdekaan, menyeret pula perdebatan pemikiran dua kubu Islam ini
ke masalah-masalah politik, terlebih saat para tokohnya juga banyak terlibat
aktif di dalam politik menjadi anggota suatu partai.
Sampai dengan ini,
berbicara mengenai kekuasaan maka perdebatan antara Islam tradisionalis dengan
islam modern tidaklah kalah menariknya. Menurut budaya Jawa--yang
juga banyak menjadi dasar filosofis orang-orang yang disebut Islam
tradisonalis—kekuasaan itu diperoleh dengan cara bertapa dan praktik yoga,
seperti berpuasa, berjalan tanpa tidur, bermeditasi dan tidak berhubungan
kelamin dalam jangka waktu tertentu[7]. Seperti masalah-masalah inilah akhirnya perdebatan
mulai masuk ke ranah politik, sebab berbicara tentang kekuasaan sudah termasuk
ke dalam pembicaraan politik itu sendiri.
Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia) yang merupakan federasi dari golongan dan partai Islam
terbesar di Indonesia di awal kemerdekaan tahun 1945 rupanya memiliki friksi
perpecahan di tubuhnya. Salah satunya adalah nampak bahwa kepentingan golongan
lebih diutamakan dibandingkan persatuan organisasi, terutama ketika menghadapi
daya tarik posisi politik formal di dalam negara. Masalah ini mulai nampak ke
permukaan pada tahun 1952 salah satu unsure Masyumi tersebut, yaitu NU
menyatakan keluar dari Partai Masyumi.
Kecenderungan akomodatif NU untuk
menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis,
Agama dan Komunis) adalah suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi. Apalagi
di masa demokrasi terpimpin yang secara terang-terangan menjadikan NASAKOM
sebagi falsafah pemerintahan saat itu dan cenderung condong kepada persekutuan
negara-negara komunis.
Sikap ini bukan
semata-mata bahwa Masyumi menetang keras PKI dan aliran kirinya, namun juga ada
kabar yang menyatakan sikap sentimen Muhammadiyah terhadap NU yang pada tahun
1952 menyatakan keluar dari kepengurusan Masyumi dan lebih memilih untuk
membentuk partai politik sendiri. Sedangkan dalam sejarahnya Muhammadiyah tidak
pernah mengkhianati Masyumi dan tetap menjadi anggota luar biasa yang setia
setidaknya sampai tahun 1960 saat masyumi diminta untuk membubarkan dirinya
sendiri oleh Presiden Soekarno yang saat itu sedang gencar-gencarnya
menggelorakan ideologi NASAKOM.
Ilustrasi ini dapat
terliahat dalam sebuah peristiwa ketika sejumlah tokoh Masyumi lokal,
menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh
Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor
200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan
sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu
tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai
terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya
Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi,
mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah
Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam sejarahnya Partai masyumi adalah medan perdebatan yang paling nyata
tentang dua kubu Iskam modern dan Islam tradisionalis yang masing-masing
diwakili oleh Muhammadiyah dan NU. Dari sejak pascakemerdekaan, masa demokrasi
parlementer, hingga masa demokrasi terpimpin yang menjadi masa bubarnya
Masyumi, kedua kubu Islam ini dengan segala pemikirannya selalu mewarnai
perpolitikan Islam itu sendiri di kancah nasional.
Pasca pembubaran
partai Masyumi oleh rezim Soekarno akhir lima puluhan, Muhammadiyah menyatakan
bukan sebagai penopang partai politik tertentu. Melainkan berusaha netral untuk
berdiri di atas kepentingan bangsa daripada pragmatisme politik yang
primordialis-sektarian. Oleh karenanya, Muhammadiyah dalam kancah
politik selalu terlihat berusaha bersikap hati-hati dalam menghadapi dan
berurusan dengan masalah politik praktis, yang memang sarat dengan konflik
interest. Bahkan dalam khittohnya yang disusun tahun 2002, ia menyatakan tidak
ada keterkaitan dengan parpol manapun.
NU juga ternyata telah
lebih awal menyatakan untuk tidak kembali lagi bertarung secara aktif di medan
politik atau dalam bahasa mereka yaitu kemali ke khittah.
Pertanyaan besar selanjutnya yang menyertai fenomena tersebut adalah apakah
perdebatan pemikiran antara Islam modern dan Islam tradisionalis telah
benar-benar berakhir pascabubarnya Masyumi dan kedua belah kubu sama-sama
menyatakan tidak akan kembali bertarung dalam politik praktis?.
Ternyata sama-sama
dapat kita rasakan sendiri jika perseteruan “halus” itu tetap berlangsung.
Berlangsungnya mungkin bukan dalam masalah politik seperti saat sama-sama
tergabung dalam Masyumi, namun nampaknya kembali ke perselisihan awal yaitu
perdebatan-perdebatan masalah sosial dan peribadatan. Mungkin sudah sangat
sering bagi kita orang Islam Indonesia saat ini dibuat bingung tentang kapan
jatuhnya hari pertama puasa ramadhan maupun jatuhnya tanggal 1 syawal. Kedua
kubu yang secara jumlah adalah dua organisasi massa Islam terbanyak di
Indonesia saling mengeluarkan fatwa atau ketetapan yang sering kali berbeda.
Hingga ada istilah-istilah yang kurang baik terhadap mereka, seperti
ucapan-ucapan “lebarannya Muhammadiayah” atau “lebarannya NU”, karena
masing-masing ormas Islam ini melaksanakan lebaran itu di hari yang berlainan.
Namun begitu
setidaknya nampak bahwa masa sekarang ini (reformasi) penggolongan Islam di
Indonesia menjadi Islam modern dan Islam tradisionalis tetap relevan jika sudut
pandangnya adalah keyakinan terhadap ajaran agama yang dilaksanakannya. NU terlihat
lebih merakyat dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang mengedepankan
pengajaran mandiri melalui pesantren dan warisan-warisan leluhur yang dijaga
hingga saat ini. Muhammadiyah pun namapk sebagai Islam yang modern, berbeda
dengan NU yang dalam menjalankan ibadahnya masih bercamur dengan kebudayaan dan
menganut salah satu mahzab yang empat, Muhammadiayah lebih terbuka dengan
nilai-nilai yang berasal dari Barat dan sangat menentang praktik-praktik bid’ah
dalam peribadatan umat.
Kelahiran gerakan
pembaharuan Islam di masa perjuangan melawan penjajahan setidaknya tidak hanya
menyadarkan masyarakat dan meningkatkan sikap rasionalitas masyarakt terkait
ajaran agama dan nasib sebagai sebuah bangsa, namun juga telah menimbulkan
kemelut yang sampai saat ini selalu mewarnai kehidupan sosial-politik tanah
air, yaitu perdebatan mengenai Islam modern dan Islam tradisionalis. Islam
tradisionalis sebagai contohnya. Yaitu kelompok yang salah satu faktor
kelahirannya adalah sebagai sikap kekurangsetujuan dengan upaya pemurnian agama
untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadits dengan meninggalkan praktik-praktik
kebudayaan Jawa dalam ajaran Islam dan keterbukaannya dengan nilai-nilai yang
berasal dari Barat.
Awalnya hanya seputar
perdebatan pemikiran peribadatan dan kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat
Jawa, namun dalam perkembangan selanjutnya setelah dihadapkan dengam kenyataan
Indoesia merdeka dan berlakunya sistem politik parlementer, yang mau tidak mau
membuat banyak tokoh dari Islam tradisional dan Islam modern terlibat aktif
dalam politik. Dan menunggalnya kedua kubu yang awalnya sempat bersitegang
kedalam kesebah wadah yang disebut partai Masyumi sebagai anggota luar biasa,
bukan meredakan perbedaan dan perdebatan yang ada, namun justru menjadikan
Masyumi seperti ajang pertarungan pengaruh dan perdebatan dari pemikiran kedua
kubu tersebut.
Daftar Pustaka
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/31/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyumi-dan-islam/
Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001
Daftar Pustaka
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/31/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyumi-dan-islam/
Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001
Komentar
Posting Komentar