KASUS KEMAJEMUKAN DI INDONESIA DARI PENDEKATAN KONFLIK

Kemajemukan di Indonesia, sebagaimana yang didefinisikan oleh beberapa tokoh seperti:
J.S. Furnivall yang menjelaskan bahwa, masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas maupun kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi terpisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya.

Nasikun, yang menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut sistem nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar untuk mengembangkan sikap saling memahami.

Dan juga, Clifford Geertz, berpendapat bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial.

Namun pengertian secara umum yang saya dapatkan dari beberapa sumber bahwa kemajemukan masyarakat yaitu, “Masyarakat yang ditandai dengan kenyataan adanya keragaman kesatuan sosial yang berdasarkan ras, suku bangsa, dan agama.”
                Dalam hal ini saya akan mengangkat salah satu contoh kasus konflik berdasarkan kemajemukan di Indonesia yakni Fenomena Konflik Politik Pilkada dan Liberalisasi Politik

Salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing.

Ya, begitulah yang saya dapatkan dari satu sumber tertentu mengenai pembukaan apa yang akan saya bahas disini.

Di satu sisi ruang pilkada ini merupakan liberalisasi politik yang bertujuan agar efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun di sisi lain, pilkada ini justru menimbulkan polemik dan konflik yang cukup rumit penyelesaiannya.

Namun terjadinya konflik ini disebabkan atas ketidakpastian masyarakat Indonesia dalam menghadapi liberalisasi politik yang pada dasarnya watak masyarakat Indonesia itu sendiri umumnya masih bersifat primordial (sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya) dan feodalistis (Bersifat feodal sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; sistem sosial yang mengagung- agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja). Dan juga adanya ketidakpastian hukum yang diakibatkan dari tidak jelasnya peraturan pada perundang-undangan yang menjadi dasar dari pilkada ini. Telah banyak pula konflik di negri ini yang telah terjadi, seperti contohnya konflik Pilkada di Sulsel dan Maluku.

Adalah merupakan suatu kepastian bahwa dalam setiap pertarungan politik, khususnya di pilkada, akan banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Mulai dari kepentingan borjuasi internasional, kepentingan borjuasi nasional, hingga kepentingan rakyat (pekerja) tentunya. Sehingga konfilk bukan hal yang asing lagi untuk dijumpai. Di tulisan ini tidak akan dibahas mengenai persoalan apa, siapa dan bagaimana para kepentingan mengintervensi politik di pilkada sehingga menimbulkan konflik. Tapi akan dibahas tentang bagaimana mengolah isu konflik untuk menjadi suatu pembelajaran politik bagi rakyat untuk mengahadapi pertarungan bebas di kancah pertarungan pilkada (liberalisasi politik).

Anggapan umum yang mengatakan bahwa konfilk selalu akan melahirkan yang namanya kehancuran dan kekacauan adalah tidak sepenuhnya benar. Di mana ada sisi negatif maka di situ ada sisi positif. Begitupun dengan konflik. Konflik politik jangan selalu dimaknai sebagai kegagalan demokrasi yang berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik harus dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran politik bagi masyarakat.

Indonesia adalah negara hukum. Semua ada mekanisme dan aturannya tersendiri, termasuk dengan konflik pilkada. Biarkan hukum bekerja sesuai dengan mekanismenya. Konflik pilkada Sulsel misalnya, apapun keputusan Mahkamah Agung nantinya semua pihak harus menerima dengan jiwa ksatria, termasuk pihak yang kalah.


Masyarakat jangan dijebak pada jurang konflik politik yang sebenarnya hanyalah merupakan ilusi kepentingan pribadi dari elit-elit politik yang bermain. Masyarakat harus diarahkan pada kesadaran untuk bagaimana memahami dan mengerti dari konflik itu sendiri. Nantinya masyarakat akan dapat menilai secara objektif mana yang betul-betul memperjuangkan nasib rakyat, mana yang fairplay dan mana yang manipulatif. Sehingga pada akhirnya masyarakat akan dapat dengan sendirinya mencegah terjadinya konflik.

Sumber:

https://ilmiinfo.wordpress.com/sosiologi-kemajemukan-dalam-masyarakat/
http://blogbelajar-pintar.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-kemajemukan-masyarakat.html
http://www.academia.edu/5627377/10_CONTOH_KONFLIK_DI_INDONESIA



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TENTANG ANAK JALANAN

MAKALAH TENTANG MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BERBUDAYA

MAKALAH MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN SOSIAL